Rabu, 22 Mei 2013

Vitamin D Bisa Membantu Obati Tuberculosis


Hal tersebut diungkapkan lewat sebuah penelitian terbaru oleh sekelompok ilmuwan di Queen Mary, University of London. Menurutnya, dosis tinggi dari vitamin D yang disertai bantuan pengobatan antibiotik bisa membantu pasien tuberculosis untuk pulih lebih cepat.

Vitamin D dari sinar matahari ternyata bisa membantu tubuh melawan infeksi tuberculosis (TB). Tak hanya itu, vitamin D juga memungkinkan pasien untuk pulih lebih cepat dari penyakit yang mematikan.
Temuan ini menunjukkan bahwa dosis tinggi vitamin D bisa meredam respon inflamasi pada tubuh terhadap infeksi dengan risiko kerusakan paru-paru yang lebih sedikit.
Selain merangsang pemulihan pada pasien TB, hasil lainnya juga menunjukkan bahwa suplemen vitamin D bisa membantu pasien sembuh lebih cepat dari penyakit lain seperti pneumonia.
“Temuan ini sangat signifikan. Mereka menunjukkan bahwa vitamin D mungkin memiliki peran dalam mempercepat penyelesaian respon inflamasi pada pasien TB,” ungkap Dr. Adrian Martineau, dosen senior mata kuliah infeksi pernafasan dan kekebalan di Blizard Institute, yang memimpin penelitian tersebut.
“Hal ini penting, karena kadang-kadang respon inflamasi bisa menyebabkan kerusakan jaringan yang mengarah ke pengembangan rongga di paru-paru. Jika kita bisa membantu rongga untuk sembuh lebih cepat, maka infeksi pada pasien akan berlangsung lebih singkat. Dan mereka mungkin juga kurang berisiko menderita kerusakan paru-paru,” ujar Martineau seperti dikutip Zeenews.
“Secara umum, kemampuan vitamin D untuk meredam respon inflamasi tanpa mempengaruhi kinerja antibiotik bisa menimbulkan kemungkinan bahwa suplemen juga mungkin memiliki manfaat baik untuk pasien yang menerima terapi antimikroba setelah terkena infeksi paru-paru pneumonia, sepsis, dan lainnya,” tambahnya.
Rencananya, penelitian ini akan dipublikasikan pada pekan ini dalam acara Proceedings of the National Academy of Sciences of the USA.sumber: www.duniafitness.com

Ilmuwan Kembangkan Vaksin Anti-merokok

Seperti yang dikutip Zeenews, vaksin DNA ini berupa suntikan yang membuat antibodi terhadap nikotin. Selain itu, vaksin ini juga bisa digunakan untuk memvaksinasi anak-anak dalam upaya menghentikan mereka terpancing untuk mulai merokok. Sejauh ini, vaksin ini telah diuji pada tikus, namun para peneliti berharap percobaan di manusia bisa dimulai dalam waktu dua tahun kedepan.
Vaksin ini mengandung gen yang “diprogram” untuk membuat antibodi yang menetralisir nikotin sebelum mencapai otak, dimana biasanya akan memicu perasaan menyenangkan yang mendasari kecanduan.
Dr. Ronald Crystal, yang memimpin penelitian di Weill Cornell Medical College, New York, mengatakan teori ini memiliki dasar arti, jika perokok tidak lagi mendapatkan kepuasan dari rokok, mereka akan merasa lebih mudah untuk berhenti. Sebagian besar perokok yang mencoba berhenti diteliti mulai merokok lagi dalam waktu enam bulan, tetapi vaksin ini mungkin menawarkan solusi yang sangat dibutuhkan.
Injeksi vaksin ini menyulap hati menjadi bekerja secara aktif untuk membuat antibodi dan memastikan selalu ada antibodi dalam darah untuk melawan nikotin. Dalam penelitian tersebut, ketika tikus yang divaksinasi diberi nikotin, antibodi memotong jumlah nikotin yang akan berjalan ke otak sebesar 85 persen, dan tidak berpengaruh pada tekanan darah, perilaku atau denyut jantung.
Penelitian, yang diterbitkan dalam jurnal Science Translational Medicine, ini masih pada tahap awal dan masih membutuhkan penelitian skala besar, yang berarti akan beredar di pasar setidaknya lima tahun kedepan. Jika terbukti aman dan efektif, vaksin ini akan dimasukkan dalam program vaksinasi sekolah untuk menghentikan anak-anak muda dari merokok.
Darren Griffin, di Kent University, mengatakan penelitian ini memang memiliki “potensi besar”, tetapi ia memperingatkan bahwa percobaan pada tikus tidak selalu bekerja pada manusia.

Penemuan Obat Autis Makin Prospektif

KOMPAS.com - Setelah sukses dalam tataran penelitian, peneliti berharap obat ini dapat digunakan untuk menawar gejala autisme pada manusia.


United State National Institutes of Health meneliti penggunaan obat GRN-529 untuk mengurangi gejala umum yang kerap ditunjukan para pengidap autis. Obat tersebut dapat membantu dua sel otak berkomunikasi satu dengan yang lain.

Meski selama ini beredar anggapan bahwa autis merupakan kelainan yang tidak bisa ditanggulangi dengan obat, peneliti meyakini bahwa penggunaan obat ini dapat mengurangi gejala autis. Caranya, dengan mengupayakan agar sel-sel otak saling berkomunikasi di sinapsis - celah antara sel otak manusia.

Uji coba dilakukan pada tikus-tikus yang berperilaku autis - ini berbeda dengan tikus yang memang mengidap autis. "Tikus-tikus autis" kurang dalam hal sosialisasi dan komunikasi dengan tikus lain. Mereka juga menghabiskan banyak waktu untuk melakukan kegiatan secara berulang-ulang terkait dirinya sendiri.

Setelah diinjeksi, tikus-tikus tersebut menunjukan perilaku yang lebih baik. Seperti mengurangi kegiatan yang berulang-ulang dan menunjukan peningkatan dalam tataran sosial. Para peneliti meyakini temuan tersebut meningkatkan peluang obat tersebut dapat digunakan dalam penanganan autis.

"Mengingat tingginya biaya, baik dalam bentuk uang maupun emosi, bagi keluarga, sekolah dan sistem perawatan kesehatan, kami berharap rangkaian penelitian ini dapat memenuhi kebutuhan obat yang mengatasi gejala-gejala mendasar," kata Dr Jacqueline Crawley, salah seorang peneliti dari National Institute of Mental Health.

Uta Frith, profesor perkembangan kognitif dari University College London mengatakan, "Proses-proses di sinapsis telah lama dicurigai sebagai asal mula autisme."

Hasil penelitian yang dipublikasikan di jurnal Science Translational Medicine ini meski menunjukan gejala positif pada tikus, tidak begitu saja dapat diaplikasikan pada manusia. Butuh waktu lama dan serangkaian penelitian lanjutan untuk menguji kelayakannya pada manusia. Bahkan tak jarang suatu obat malah gagal diterapkan pada manusia meski berhasil pada hewan.

Perilaku autis diketahui berpengaruh pada 1 persen anak. Skalanya bervariasi dari ringan sampai berat. Gejalanya beragam, mulai dari kendala sosial, kendala bahasa, dan suka mengulang gerakan seperti mengetukan tangan. Selama ini pengidap autis diterapi melalui pendidikan khusus seperti terapi bicara dan perilaku. (Ni Ketut Susrini/BBC)

Sabtu, 18 Mei 2013

Game "Percepat Penemuan Obat Kanker"

London - Sejumlah ilmuwan dari badan amal kanker Inggris dan ahli teknologi Amazon, Facebook, serta Google akan mengembangkan game yang bertujuan mempercepat penelitian untuk menemukan obat-obatan kanker baru.

Rencana yang dipimpin oleh badan Cancer Research UK itu akan membuat setiap pemilik telepon pintar dapat menganalisis data ilmiah penting saat bermain game di ponselnya masing-masing.

"Kami telah mencapai kemajuan besar dalam memahami penyebab genetis perkembangan kanker. Namun, pentunjuk mengenai mengapa beberapa obat dapat bekerja dan yang lain tidak membutuhkan analisis mata manusia biasa selama bertahun-tahun," kata Carlos Caldas dari Cancer Research di Cambridge Institute.

Dengan memanfaatkan kekuatan kolektif dari para masyarakat pengguna game, lanjut Carlos, pihaknya dapat mempercepat penemuan cara baru untuk mendiagnosis dan mengobati kanker dengan lebih tepat.

Badan Cancer Research berencana untuk meluncurkan game tersebut pada pertengahan 2013. Menurut badan kanker dari WHO, IARC, kanker setiap tahunnya membunuh 7,5 juta orang di seluruh dunia dan jumlah orang yang menderita penyakit tersebut pada 2030 diperkirakan meningkat tajam sampai 75%.

Para ilmuwan saat ini sedang bekerja keras untuk menemukan kesalahan genetis yang menyebabkan kanker. Mereka berharap dapat menemukan cara yang lebih tepat menangani pasien berdasarkan profil genetisnya.

Dalam sebuah publikasi Cancer Research tahun lalu soal kanker payudara, para ilmuwan menemukan 10 subtipe penyakit tersebut. Penelitian itu juga menemukan gen-gen baru yang menyebabkan kanker payudara, sehingga membuka kemungkinan dikembangkannya obat-obatan baru dan perawatan yang lebih akurat.

Namun, penelitian tersebut kesulitan dalam menganalisis data, karena jumlahnya yang sangat banyak. Sebagian besar data-data tersebut hanya dapat dianalisis oleh manusia dan tidak dapat diproses oleh komputer.

"Mata manusia biasa dapat mendeteksi perubahan kecil yang tidak bisa dilakukan oleh mesin," kata badan tersebut saat mengumumkan rencana pengembangan game. "Dengan bantuan kekuatan kolektif ratusan ribu manusia di seluruh dunia, para ilmuwan kita dapat menganalisis data dengan lebih cepat," tambah Cancer Research UK.

Direktur Teknik Facebook London, mengatakan bahwa perusahaan yang diwakilinya percaya bahwa cara terbaik untuk menyelesaikan persoalan analisis data adalah dengan 'mengumpulkan orang-orang cerdas untuk meretas sebuah solusi'.
sumber: http://www.centroone.com/

Virus H1N1 Ditemukan pada Mamalia Laut


Seekor bayi anjing laut (Arctocephalus australis) berusia 15 hari.(FOTO
Washington - Beberapa peneliti AS, Rabu (15/5), mengatakan mereka mendeteksi untuk pertama kali virus H1N1 pada anjing laut di lepas pantai California Tengah.

Rangkaian H1N1 tersebut sama dengan yang ditemukan pada manusia pada 2009 dan itu adalah laporan pertama mengenai rangkaian virus flu tersebut pada mamalia laut, kata beberapa peneliti di Universityf of California, Davis, di jurnal PLOS ONE.

"Kami mulanya mengira kami mungkin menemukan virus influenza, yang telah ditemukan sebelumnya pada hewan mamalia laut, tapi kami tak mengira akan menemukan wabah H1N1," kata Tracey Goldstein, pemimpin penulis studi tersebut. "Ini memperlihatkan virus influenza itu dapat bergerak di kalangan banyak spesies," katanya.

Antara 2009 dan 2011, beberapa peneliti memeriksa sampel yang diambil dari cairan hidung lebih dari 900 mamalia laut dari 10 spesies berbeda di lepas Pantai Pasifik dari Alaska sampai California.

Para peneliti menyarankan orang yang menangani mamalia laut, seperti dokter hewan dan pekerja hewan, agar memakai alat perlindungan pribadi dalam upaya menghindari kemungkinan tertular.

Teh Kulit Salak dapat Menurunkan Diabetes

Malang (ANTARA News) - Peneliti dari kalangan mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang mengungkapkan kulit salak yang sudah diolah menjadi serbuk teh mampu menjadi obat penurun panas dan diabetes. "Ide dasar pembuatan teh dari kulit salak ini bermula dari keinginan kami untuk memanfaatkan limbah kulit salak karena mengandung unsur aktif `Cinamic acid derivative`," kata salah seorang mahasiswa yang tergabung dalam penelitian teh kulit salak tersebut Mhas Agoes Triambada di Malang, Rabu. Selain Mhas Agoes Triambada, ada empat mahasiswa lain yang mendukung penelitian tersebut, yakni Audisty Oktavian, Saraswati, Wildan Noor, dan Rahayu. Lebih lanjut Mhas Agoes mengatakan bahwa Cinamic acid derivative merupakan senyawa yang mampu mendorong regenerasi sel epitel. Zat tersebut juga berperan penting dalam proses perbaikan pankreas pada penderita diabetes tipe I. Unsur aktif lain yang terkandung dalam kulit salak yang sudah diolah menjadi teh itu, kata Mhas Agoes, adalah Pterostilbene, yakni zat anti diabetes yang berperan langsung dalam menurunkan kadar gula darah. Teh berbahan baku limbah kulit salak karya lima mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) Malang yang diberi nama "Litlak Tea" itu dijual seharga Rp3.000. Teh kulit salak tersebut diolah menjadi sejumlah varian rasa, yakni original, cokelat, dan vanila dengan ukuran gelas sedang. Rasa original dikhususkan untuk penderita diabetes, sedangkan rasa cokelat dan vanila untuk kalangan non-diabetes. "Kami berharap teh hasil penelitian kami ini bisa diterima oleh semua kalangan sebagai minuman sehat dan nikmat, terutama bagi penderita diabetes," ujarnya. Kelima mahasiswa tersebut juga berharap ada investor yang mau bergabung untuk memajukan dan mengembangkan peluang usaha tersebut dan akhirnya bisa diterima pasar secara luas.sumber: www.antaranews.com

Ilmuwan Jepang Ciptakan Sel Khusus Pembunuh Kanker

Jakarta, Hingga kini kanker bisa dikatakan sebagai salah satu penyakit yang hampir tak ada obatnya alias sulit disembuhkan. Berbagai pengobatan yang sudah ada pun hanya bertujuan mengurangi kemampuan sel 'jahat' kanker untuk berkembang biak. Namun baru-baru ini tim peneliti dari Jepang menemukan pengobatan kanker baru dengan memanfaatkan sel T yang diklaim dapat membunuh kanker untuk pertama kalinya. Sebenarnya secara alami sel T atau bagian dari sel darah putih yang berperan utama dalam sistem kekebalan sel sudah terdapat di dalam tubuh setiap orang tapi jumlahnya kecil. Oleh karena itu peneliti menduga dengan menyuntikkan sel T tambahan dalam jumlah besar ke tubuh pasien maka upaya itu dapat memperkuat sistem kekebalan sel dan tubuh secara menyeluruh untuk melawan kanker. Untuk membuat sel spesifik yang disebut dengan limfosit T pembunuh (killer T lymphocytes) ini, awalnya tim peneliti harus memprogram ulang limfosit T yang memiliki spesialisasi membunuh beberapa jenis kanker tertentu menjadi jenis sel lain yang disebut induced pluripotent stem cells (sel iPS). Sel-sel iPS inilah yang menghasilkan limfosit T spesifik kanker. Kendati begitu, studi sebelumnya menemukan limfosit T pembunuh yang dihasilkan di dalam laboratorium dengan menggunakan metode konvensional dianggap kurang efisien dalam membunuh sel-sel kanker karena masa hidupnya yang sangat pendek sehingga penggunaan limfosit T pembunuh untuk pengobatan kanker menjadi terbatas. Beruntung peneliti telah mengantisipasi kendala itu. Untuk mengatasinya, tim peneliti dari RIKEN Research Centre for Allergy and Immunology yang dipimpin Hiroshi Kawamoto ini pun memprogram ulang limfosit T pembunuh pada orang dewasa menjadi sel-sel iPS dan mengamati bagaimana sel-sel ini terdiferensiasi. Caranya dengan memapari limfosit T pembunuh dengan 'faktor Yamanaka' atau sekelompok senyawa yang menginduksi sel-sel agar kembali ke tahap non-spesialisasi. Kemudian sel-sel iPS yang diperoleh dari proses itu ditumbuhkan di dalam lab dan diinduksi agar dapat berdiferensiasi menjadi limfosit T pembunuh. Jenis limfosit T baru ini pun telah terbukti spesifik dengan limfosit asli yang ada pada beberapa jenis kanker kulit yang sama. Tak hanya itu, peneliti juga mempertahankan reorganisasi genetik selnya dan membuat limfosit T pembunuh ini mampu mengekspresikan reseptor kanker spesifik pada permukaan 'tubuhnya'. Limfosit T baru ini juga diketahui aktif memproduksi senyawa anti-tumor. "Kami telah berhasil mengembangkan sel-sel T spesifik antigen dengan membuat sel-sel iPS dan mendiferensiasikan mereka untuk kembali menjadi sel T yang fungsional," tukas Dr. Kawamoto seperti dilansir dari Daily Mail, Sabtu (5/1/2013). "Langkah selanjutnya adalah menguji apakah sel T ini dapat membunuh sel-sel tumor secara selektif, tidak dengan sel-sel lainnya di dalam tubuh. Jika mereka bisa melakukannya maka sel-sel ini dapat disuntikkan langsung ke dalam tubuh pasien untuk terapi. Bahkan hal ini bisa direalisasikan dalam waktu dekat," lanjutnya. Studi ini telah dipublikasikan dalam jurnal Cell Stem Cell.

251 Narkoba baru!!


Jakarta (ANTARA News) - Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan siap menangani dan mengantisipasi masuknya 251 jenis narkoba baru dalam tahun ini.

"Tiap tahun memang selalu keluar jenis baru. Menurut Undang-Undang, Menteri Kesehatan setiap saat dapat mengeluarkan daftar obat baru, jadi sudah diantisipasi," kata Direktur Advokasi Deputi Bidang Pencegahan BNN Brigjen Pol Victor Pudjiadi di Jakarta, Rabu.

Victor menjelaskan, dari 251 jenis narkoba baru itu hanya berbeda nama saja, sedangkan golongan dan efek obatnya masih masuk dalam kategori narkotika yang sama yaitu obat stimulan, depresan, dan halusinogen.

Obat-obatan stimulan yang memberi efek segar, depresan yang memabukkan serta halusinogen yang memberi efek khayal sudah ada di dalam daftar BNN yang selanjutnya bisa ditindak.

"Obat yang baru pun akan mengacu ke dalam grup-grup tersebut, turunan mana, jadi sudah bisa dimasukkan ke dalam daftar untuk ditindak," katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan dr Diah Setia Utami juga mengatakan sebanyak 251 jenis narkoba baru siap membanjiri Indonesia tahun ini.

Kendati demikian, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan, bersama BNN sudah berkoordinasi untuk membuat aturan penindakan terhadap obat-obatan golongan narkotika dan turunannya itu.

"Ada 251 jenis zat baru karena memang selalu ada modifikasi obat. Tapi nanti daftarnya akan masuk `under control drugs` yang akan dicek jumlah penggunaannya sehingga bisa ketahuan kalau ada penyelundupan," katanya.

Penemuan Obat Baru HIV/AIDS

Universitas Nigeria temukan obat baru buat HIV/AIDS

Rabu, 9 Januari 2013 09:13 WIB | 4682 Views
Benin, Nigeria (ANTARA News) - Pengelola University of Benin (UNIBEN) di Nigeria, di Ibu Kota Negara Bagian Edo di wilayah selatan negeri tersebut, Selasa (8/1) mengumumkan penemuan obat herbal baru yang dapat mengalahkan HIV dan AIDS.

Dekan School of Basic Medical Sciences, UNIBEN, Isaiah Ibeh, mengungkapkan temuan obat herbal tersebut kepada wartawan.

Ia mengatakan obat itu telah menjalani serangkaian ujicoba yang berhasil di laboratorium dan oleh ahli medis di Nigeria serta Amerika Serikat.

"Kami sedang membuat sejarah, dalam pengertian bahwa kami tampaknya memiliki sesuatu yang akan secara permanen mengobati apa yang selama ini kelihatanya telah mengalahkan semua solusi," katanya.

"Kami berbicara tentang temuan paling akhir obat oral yang dibuat dari ekstrak tanaman di Nigeria untuk mengobati wabah, HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome)," kata Ibeh sebagaimana dikutip dari Xinhua.

Penelitian mengenai proyek itu telah dimulai pada 2010 dan mencapai puncaknya dengan pengembangan obat cair yang dikenal dengan nama Deconction X (DX) atau Bioclean 11, untuk mengobati HIV/AIDS.

"Obat retrovirus yang ada merupakan obat campur-tangan buat penanganan AIDS, tapi temuan baru kami adalah obat yang mungkin berhasil," ia menambahkan.

Menurut Ibeh, universitasnya telah berusaha meneliti obat herbal lebih dulu serta analisis toksiologinya.

"Ini berarti jika hewan atau manusia terpajan padanya, mereka takkan menderita bahaya serius sama sekali dari pajanan tersebut," katanya.

"Obat tersebut telah memperlihatkan hasil baik pada pasien yang terserang virus HIV dan telah memperlihatkan bukti mengenai pemulihan total jaringan yang rusak. Hasilnya memperlihatkan peningkatan berat tubuh orang yang menggunakan DX," kata Ibeh.
(ANT)